Siraso, sang Dewi Bibit Suku Nias
Cerita Mite dari pulau Nias
Oleh: Victor Zebua
Dewi Bibit
Sejauh ini cerita lengkap tentang Siraso ditemukan dalam buku Fondrakö Ono Niha, Agama Purba – Hukum Adat – Mitologi – Hikayat Masyarakat Nias (1981) karya Sökhiaro Welther Mendröfa (Ama Rozaman).
Dalam bab IV buku tersebut diceritakan tentang Atumbukha Ziraha
Wangahalö (Lahirnya Dewa Dewi Pertanian) dalam bentuk narasi dan hoho.
Buruti Siraso (Siraso) adalah putri dari Raja Balugu Silaride Ana’a di Teteholi Ana’a. Balugu Silaride Ana’a adalah keturunan lebih dari sepuluh setelah Balugu Luo Mewöna. Siraso memiliki saudara kembar laki-laki bernama Silögu Mbanua (Silögu).
Di Teteholi Ana’a, Siraso rajin mendatangi rakyat saat penaburan
bibit sehingga tanaman subur dan berbuah lebat. Sedang Silögu gemar
mendatangi rakyat saat panen sehingga bulir-bulir panenan banyak dan
bernas.
Ketika memilih jodoh, Siraso mengidamkan suami yang mirip kembarannya, demikian pula Silögu ingin beristri seorang wanita persis Siraso.
Untuk mencari jodohnya, Silögu pergi berkelana. Sementara Siraso
diturunkan ayahnya ke muara sungai Oyo. Anak kembar itu dipisah agar
tidak terjadi incest (kawin sumbang). Dari muara sungai Oyo,
Siraso meneruskan perjalanan ke hulu, tiba di suatu dataran rendah yang
kemudian bernama Hiyambanua, dan bermukim di situ.
Setelah setahun berkelana Silögu pulang. Di rantau dia tidak
menemukan idamannya, di Teteholi Ana’a dia juga tidak bertemu
kembarannya. Menurut ayahnya, Siraso telah meninggal dunia. Betapa
gundah-gulana hati Silögu. Akhirnya, Silögu mohon diturunkan ke bumi. Silögu kebetulan
diturunkan di muara sungai Oyo. Dia berjalan ke hulu sungai, dan tiba
di Hiyambanua. Di sana dia bertemu seorang wanita yang mirip adik
kembarnya. Sang wanita itu juga melihat Silögu mirip abang kembarnya.
Dua insan itu akhirnya kawin. Setelah menjadi pasangan suami-istrii
barulah Silögu dan wanita itu (yang ternyata adalah Siraso) mengetahui
bahwa mereka saudara kembar. Apa boleh buat, Maha Sihai Si Sumber Bayu
telah menjodohkan mereka.
Di bumi Nias Siraso dan Silögu tetap gemar mengunjungi para petani. Doa
dan berkat mereka dibutuhkan untuk bibit dan untuk panen. Setelah mereka
meninggal dunia, orang-orang membuat patung Siraso (Siraha Woriwu) dan patung Silögu (Siraha Wamasi) untuk memanggil arwah mereka pada waktu para petani turun menabur bibit dan panen. Siraso dikenal sebagai Dewi Bibit (Samaehowu Foriwu), Silögu dikenal sebagai Dewa Panen (Samaehowu Famasi).
Pada waktu mulai menabur bibit, masing-masing petani membawa bibit
tanaman, diserahkan kepada ere (ulama agama suku) agar bibit tersebut
diberkati oleh Dewi Bibit. Upacara pemberkatan ini mengorbankan babi.
Ere memimpin doa pemujaan Siraha Woriwu. Syair hoho Memuja Dewi Bibit (Fanumbo Siraha Woriwu) diawali:
He le Siraso samo’ölö, he le Siraso samowua;
soga möi moriwu tanömö, möiga mangayaigö töwua;
mabe’zi sarasara likhe, matanö zi sambuasambua.
(Hai Siraso Sumber hasil, hai Siraso sumber buah.
Kami tiba, menyemai bibit, kami tiba menyemai tampang.
Kami semai tunggal berlidi, kami semai biji satuan.)
Setelah itu syair hoho berisi harapan agar bibit tanaman:
- diberi akar menembus bumi, diberi batang naik mengatas
- mayangnya dimatangkan oleh terik, buahnya dimatangkan oleh panas
- terlindung dari serangan: tikus, walang sangit, celeng, monyet, hama, pipit
- tidak diganggu arwah orang mati dan tidak dihanyutkan banjir
Selain harapan, syair hoho juga berisi janji (ikrar) yang harus ditepati:
Mabé wabaliŵa mbalaki, mabé wabaliŵa zemoa;
sumange woriwu tanömö, sumange woriwu töwua.
Andrö faehowu ya mo’ölö, andrö faehowu ya mowua.
(Akan kami bayar emas murni, dan kami membayar emas perada.
Persembahan bagi Dewi Bibit, persembahan bagi Dewi tampang.
Berkatilah agar ganda hasil, berkatilah agar berganda buah.)
Tidak dijelaskan bagaimana janji tersebut dilaksanakan, namun dalam pemujaan Dewa Panen disebutkan bahwa sebagian hasil panen harus dibagikan kepada: kaum miskin atau melarat, janda, anak yatim, dan anak yatim-piatu. Bila dilanggar akan membuat dewa marah dan merusak hasil pertanian.
Demikianlah cerita Dewi Bibit (dan Dewa Panen) dalam buku Ama Rozaman.
Kisah Siraso dan Silögu ini pada zamannya merupakan mite. Para ahli
menyebutnya mitos teogonis (mite terjadinya dewa-dewi), dianggap
benar-benar terjadi, dianggap suci (sakral), dan diwariskan
turun-temurun dalam kehidupan masyarakat Nias tempo dulu.
Tradisi lompat batu di Nias |
Keturunan Siraso
Mitos teogonis dewa-dewi pertanian kini menjelma menjadi legenda
(dianggap benar-benar terjadi, tapi tidak sakral). Ketika agama modern
datang, terjadi iconoclasm (pemusnahan patung-patung berhala) di Nias. Masyarakat diharamkan menyembah patung (fanömba adu),
sehingga mite dewa-dewi pertanian kehilangan sarana pewarisannya.
Dewa-dewi pertanian tidak dianggap sakral lagi oleh orang Nias, kini
diganti mitos modern bertema teknologi: traktor, pestisida, pupuk, dan
bibit unggul.
Bagi folk (orang Nias zaman sekarang) cerita itu bukan lagi sebuah lore (kebudayaan
yang diwariskan). Cerita itu hanyalah sebuah mite kuno (mite milik
orang Nias kuno, bukan milik orang Nias kini) yang lambat-laun kian
dilupakan. Namun keturunan Siraso yang telah tersebar di Tanö Niha tentu
tidak mudah dilupakan.
Generasi ketiga dari Siraso-Silögu adalah anak kembar: Silaheche Walaroi dan Silaheche Walatua. Mereka pindah dari Hiyambanua ke Gomo. Hanya Silaheche Walaroi (Falaroi) yang selamat sampai di Börönadu Gomo. Falaroi menetap di sana bersama keturunan Hia Walangi Adu. Dia mendapat gelar Sebua Moroibalangi. Dari nama gelar itulah asal mado Zebua yang dipakai keturunannya (Fries, 1919: 106-8; Zebua, 1996: 6).
Menurut Faondragö Zebua (Ama Yana), anak Falaroi bernama Lari SumölaIagö Tanömempunyai anak dua: dan Börödanö. Iagö Tanö berputera Ba’usebua. Ba’usebua kawin denganBuruti Lama, saudari baginda Gea (keturunan Daeli) di Tölamaera, anaknya empat: Lafoyolatio,Lanö, Hinou Manofu, Manofugabua. Keturunan mereka menyebar: Lafoyolatio tinggal
di Ononamölö, Lanö kembali ke Hiyambanua dan sebagian keturunannya
pergi ke Laraga, Hinou Manofu dan Manofugabua berdomisili di Luaha
Moro’ö mendirikan Ononamölö dan Mazingö. SedangBörödanö menjadi leluhur mado Zebua di Tetehösi Idanögawo (Zebua, 1996: 16-7).
Cerita versi Faogöli Harefa agak berbeda. Cucu Siraso-Silögu yang
tinggal di Hiyambanua bernama Lari Sumöla mengembara hingga ke
Tölamaera. Di sana dia kawin dengan Buruti Lama, anaknya dua: I’agötanö
dan Börönadö. Anak I’agötanö bernama Ba’u Sebua mempunyai
anak empat: Lafoyo Latio, Lanö, Manofu Gobua, Hino Manofu. Keturunan
mereka menyebar: Lafoyo Latio tinggal di Ononamölö, Lanö pergi ke Oyo,
Manofu Gobua pergi ke Luaha Moro’ö, Hino Manofu pergi ke Sowu. Cucu dari
Ba’u Sebua menjadi asal-usul mado Zebua (Harefa, 1939: 18).
Dalam kedua cerita tersebut tersimpan sebuah misteri. Suami Buruti Lama
menurut Faondragö Zebua (1996) adalah Ba’usebua, sedang Faogöli Harefa
(1939) mengatakan Lari Sumöla. Untuk menyingkap misteri tersebut,
tampaknya perlu penelusuran yang lebih luas dan teliti terhadap silsilah
keluarga (zura nga’ötö) para keturunan Sang Dewi Bibit, meliputi:
Zebua, Zega, Zai, Ziliwu, Hawa, dan lainnya.
Patung leluhur dari pulau Nias |
Banyak cerita tentang Siraso, versinya pun bervariasi. Dari Ama Waögo
Waruwu, Ama Zaro Baene, dan Ama Rozaman Mendröfa diketahui Siraso tiba
di tiga tempat berbeda di pulau Nias. Fenomena ini menunjukkan bahwa
Siraso cukup dikenal masyarakat, terutama masyarakat Nias tempo dulu, di
kawasan yang relatif luas di Tanö Niha.
Menurut Ama Waögo Waruwu dari kecamatan Lölöfitu Moi, Siraso datang dari seberang, terdampar di teluk Nalawö. Dalam perjalanan ke pedalaman dia beristirahat di hulu sungai Nalawö. Persis di tempat itu akhirnya didirikan desa Nalawö (Hämmerle, 2001: 169).
Sedang menurut Cosmas S. Baene (Ama Zaro) dari desa
Hililaora-Hilidohöna, kecamatan Lahusa, Siraso mendarat di muara Susua,
kemudian menelusuri sungai Susua ke hulu dan tiba di muara sungai Gomo.
Dari muara itu beliau menelusuri sungai Gomo, akhirnya tiba di Börönadu (Hämmerle, 2001: 59).
Lain lagi cerita versi Sökhiaro Welther Mendröfa (Ama Rozaman),
puteri Buruti Siraso diturunkan di bumi Tanö Niha, jatuh di muara sungai
Oyo di sebelah Barat Tanö Niha. Setelah mengasoh sebentar di tempat
itu, puteri Buruti Siraso meneruskan perjalanan ke hulu sungai Oyo dan
tiba di suatu dataran rendah yang kemudian bernama Hiyambanua.
Bermukimlah puteri itu di sana (Mendröfa, 1981: 162).
Masing-masing cerita di atas masih berupa sepotong cerita. Belum dapat
dinilai apakah ketiga cerita tersebut merupakan mite yang dianggap
benar-benar terjadi dan dianggap suci, meski beberapa kalangan mungkin
mengklaimnya sebagai tradisi lisan (oral tradition) tentang Siraso.
Tradisi lisan merupakan salah satu genre (bentuk) dari folklor. Folklor berasal dari kata-majemuk folklore (Inggris:
folk dan lore). Menurut Alan Dundes, folk adalah sekelompok orang yang
memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan (misalnya:
warna kulit, bentuk rambut, mata pencaharian, bahasa, taraf pendidikan,
agama), sehingga dapat dibedakan dari kelompok lainnya. Mereka memiliki
suatu tradisi, yakni kebudayaan yang telah diwarisi turun-temurun,
sedikitnya dua generasi, yang diakui sebagai milik bersama. Sedang lore
adalah sebagian kebudayaan yang diwariskan secara turun-temurun secara
lisan atau melalui contoh yang disertai isyarat atau alat pembantu
pengingat (Danandjaja, 1984: 1-2).
Mengacu Alan Dundes, dalam mengkaji tradisi lisan mite, Victor Zebua
menggunakan batasan unsur-unsur pokok mite Nias, khususnya mite
asal-usul, yaitu: cerita lisan berbentuk hoho atau prosa tentang
asal-usul, dianggap benar-benar terjadi dan suci oleh sekelompok orang
Nias, telah diwariskan minimal dua generasi, pewarisan melalui praktek
kebudayaan Nias misalnya: fondrakö, acara kelahiran, pesta perkawinan, acara kematian, pesta budaya, pertunjukan budaya, dan lainnya (Zebua, 2006: 76)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar