Berakhirnya Orde Baru dan Lahirnya Reformasi
Kegagalan PKI dalam upaya kudeta pada tahun 1965
menimbulkan dua permasalahan besar bagi Indonesia. Pertama, carut-marutnya
perekonomianIndonesia dengan inflasi sampai 600%. Kedua, terjadinya konflik
sosial akibat dendam pada PKI dan organisasi bawahannya. Kedua permasalahan
tersebut perlahan-lahan bisa diatasi dengan tampilnya Jenderal Soeharto. Orde Baru
pun lahir dengan tekad melaksanakan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945
secara murni dan konsekuen. Selanjutnya,
Orde Baru bertakhta dalam kehidupan
bangsa Indonesia selama 32 tahun. Mengapa
Orde Baru bisa tumbang pada
tahun 1998?
1.
Peristiwa Penting Sepanjang Orde
Baru
Sejarah Orde
Baru dimulai tanggal 12 Maret 1967.
Jenderal TNI Soeharto ditunjuk oleh MPR sebagai pejabat presiden. Beliau
menjalankan tugas kepresidenan yang telah diambil alih dari Presiden Soekarno.
Setahun kemudian Soeharto dipilih secara resmi sebagai presiden untuk pertama
kalinya sekaligus mengawali era Orde
Baru .
Orde Baru memimpin pemerintahan
di Indonesia selama lebih kurang 32 tahun. Soeharto tampil sebagai presiden
tunggal selama tujuh kali berturut-turut. Selama menjalankan tugas
kepresidenan, beliau didampingi oleh wakil presiden yang berbeda. Wakil
presidennya adalah Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Adam Malik, Umar
Wirahadikusuma, Soedharmono, Try Sutrisno, dan B.J. Habibie. Pada periode
pemerintahan 1998–2003, Soeharto harus turun dari jabatannya karena desakan
gerakan reformasi. Kita bisa mencatat selama
Orde Baru terjadi beberapa
pelanggaran HAM dan kebebasan pers. Sementara itu, Golkar dengan didukung ABRI
dan birokrasi memenangkan pemilu selama tujuh kali berturut-turut.
2.
Perkembangan Ekonomi pada Masa Orde Baru
Soeharto perlu waktu sekitar dua belas tahun untuk
meraih keberhasilan pembangunan dalam bidang ekonomi dan kependudukan. Masa
keemasan Orde Baru terjadi pada tahun 1976–1988. Keberhasilan
itu didukung melonjaknya harga minyak dunia, mengalirnya bantuan negara-negara
donor, dan efektifnya rencana pembangunan lima tahun (Repelita) I–III. Pada
tahun 1980-an Indonesia adalah penghasil gas alam cair terbesar di dunia.
Kedudukan Indonesia sebagai negara antikomunis mempermudah bantuan Barat.
Pelaksanaan Repelita bisa tepat sasaran dan program.
Upaya Orde Baru untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat
berhasil pada periode itu. Pendapatan per kapita Indonesia naik dari US$70 pada
tahun 1968 menjadi US$1.000 pada tahun 1996.
a.
Prestasi Orde Baru
Prestasi yang perlu dicatat selama Orde Baru
sebagai berikut. Program transmigrasi bisa mengatasi kepadatan penduduk
di Pulau Jawa dan membuka lahan-lahan baru di luar Pulau Jawa. Program keluarga
berencana (KB) mampu menekan laju pertumbuhan penduduk. Untuk memberantas buta
huruf, pemerintah membuat program bebas tiga buta (B3B). Pemerintah Orde Baru
juga sukses menerapkan Gerakan Wajib Belajar Wajar 9 Tahun dan Gerakan
Nasional Orang-Tua Asuh (GNOTA).Keberhasilan Soeharto menjaga stabilitas
keamanan dalam negeri mendorong masuknya investor asing. Mereka menanamkan
modal di Indonesia sehingga memperluas kesempatan kerja. Pemerintahan Orde Baru
juga berhasil menggalakkan cinta atas produk dalam negeri dan
menumbuhkan rasa nasionalisme.
b.
Swasembada Beras
Prestasi Orde
Baru yang fenomenal adalah swasembada
pangan pada tahun 1980-an. Usaha mencapai swasembada beras berlangsung selama
Repelita I dan Repelita II. Usaha ini dilaksanakan melalui rehabilitasi saluran
irigasi, pembangunan jaringan irigasi baru, penyediaan fasilitas kredit,
penerapan kebijaksanaan harga, serta pemanfaatan teknologi dan penyuluhan.
Repelita III menekankan usaha intensifikasi khusus
(insus) pada tahun 1979. Misalnya, dengan memperluas penggunaan benih varietas
unggul, penggunaan pupuk secara optimal, meningkatkan usaha pengendalian hama
dan penyakit, serta meningkatkan pengelolaan air irigasi. Atas usaha yang
dilakukan sejak Repelita I, impor beras tidak dilaksanakan mulai tahun 1984 dan
swasembada beras berhasil dicapai.
Untuk mempertahankan swasembada beras dilaksanakan
suprainsus pada Repelita IV. Sistem ini meningkatkan partisipasi kelompok tani.
Programnya antara lain pembangunan dan pemeliharaan sarana irigasi, pencetakan
sawah, dan pengendalian hama terpadu. Pada tahun pertama Repelita V,
peningkatan produksi padi dilaksanakan dengan meningkatkan luas areal suprainsus
dan pencetakan sawah.
Dari tabel di atas kita bisa melihat produksi padi
terus mengalami kenaikan. Dari 17,2 juta ton pada tahun 1968 menjadi 41,7 juta
ton pada akhir Repelita IV atau meningkat lebih dua kali. Peningkatan produksi
padi yang begitu pesat telah menghasilkan swasembada beras pada tahun 1984.
Peningkatan produksi padi disebabkan meningkatnya hasil rata-rata padi per
hektare. Sejak awal Repelita I sampai akhirRepelita IV, hasil rata-rata per
hektare meningkat dari 2,13 ton per hektare (1968) menjadi 4,11 ton per hektare
(1988). Peningkatan hasil rata-rata tersebut disebabkan meningkatnya mutu usaha
intensifikasi. Misalnya, pengelolaan air irigasi, penyuluhan dan penyediaan
fasilitas kredit, serasinya hubungan antara harga pupuk dan padi, semakin
baiknya prasarana dan distribusi pupuk, serta semakin efisiennya penggunaan
pupuk. Faktor lain yang menyebabkan kenaikan produksi padi adalah semakin
luasnya areal panen, terutama luas panen intensifikasi.
3.
Berakhirnya Orde Baru dan Lahirnya Reformasi
Di balik kesuksesan pembangunan di depan, Orde Baru
menyimpan beberapa kelemahan. Selama masa pemerintahan Soeharto, praktik
korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) tumbuh subur. Korupsi besar yang pertama
terjadi tahun 1970-an ketika Pertamina dipegang Ibnu Sutowo. Praktik korupsi
menggurita hingga kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada tahun
1998. Rasa ketidakadilan mencuat ketika kroni-kroni Soeharto yang diduga
bermasalah menduduki jabatan menteri Kabinet Pembangunan VII. Kasus-kasus korupsi
tidak pernah mendapat penyelesaian hukum secara adil.
Pembangunan Indonesia berorientasi pada pertumbuhan
ekonomi sehingga menyebabkan ketidakadilan dan kesenjangan sosial. Bahkan,
antara pusat dan daerah terjadi kesenjangan pembangunan karena sebagian besar
kekayaan daerah disedot ke pusat. Akhirnya, muncul rasa tidak puas di berbagai
daerah, seperti di Aceh dan Papua. Di luar Jawa terjadi kecemburuan sosial
antara penduduk lokal dengan pendatang (transmigran) yang memperoleh tunjangan
pemerintah. Penghasilan yang tidak merata semakin memperparah kesenjangan
sosial.
Pemerintah mengedepankan pendekatan keamanan dalam
bidang sosial dan politik. Pemerintah melarang kritik dan demonstrasi. Oposisi
diharamkan rezim Orde Baru . Kebebasan pers dibatasi dan diwarnai
pemberedelan koran maupun majalah. Untuk menjaga keamanan atau mengatasi
kelompok separatis, pemerintah memakai kekerasan bersenjata. Misalnya, program
”Penembakan Misterius” (Petrus) atau Daerah Operasi Militer (DOM). Kelemahan
tersebut mencapai puncak pada tahun 1997–1998.
a.
Dari Krisis Ekonomi ke Krisis Multidimensi (Segala Bidang)
Indonesia mengalami krisis ekonomi pada tahun 1997.
Krisis moneter dan keuangan yang semula terjadi di Thailand pada bulan Juli
1997 merembet ke Indonesia. Hal ini diperburuk dengan kemarau terburuk dalam
lima puluh tahun terakhir. Dari beberapa negara Asia, Indonesia mengalami
krisis paling parah. Solusi yang disarankan IMF justru memperparah krisis. IMF
memerintahkan penutupan enam belas bank swasta nasional pada 1 November 1997.
Hal ini memicu kebangkrutan bank dan negara. BPK menemukan penyimpangan dana
sebesar Rp138 triliun atas penggunaan dana BLBI oleh ke-48 bank tersebut. Saat
itu pemerintah menyalurkan BLBI sekitar Rp700 triliun. Ini dilakukan
berdasarkan perjanjian Indonesia dengan IMF dalam mengatasi krisis. Sampai
bulan Desember 1998, BI menyalurkan BLBI sebesar Rp147,7 triliun kepada 48
bank.
Krisis ekonomi mengakibatkan rakyat menderita.
Pengangguran melimpah dan harga kebutuhan pokok melambung. Pemutusan hubungan
kerja (PHK) terjadi di berbagai daerah. Daya beli masyarakat menurun. Bahkan,
hingga bulan Januari 1998 rupiah menembus angka Rp17.000,00 per dolar AS.
Masyarakat menukarkan rupiah dengan dolar. Pemerintah mengeluarkan ”Gerakan
Cinta Rupiah”, tetapi tidak mampu memperbaiki keadaan. Krisis moneter tersebut
telah berkembang menjadi krisis multidimensi. Krisis ini ditandai adanya
keterpurukan di segala bidang kehidupan bangsa. Kepercayaan masyarakat kepada
pemerintah semakin menurun. Pemerintah kurang peka dalam menyelesaikan krisis
dan kesulitan hidup rakyat. Kabinet Pembangunan VII yang disusun Soeharto
ternyata sebagian besar diisi oleh kroni dan tidak berdasarkan keahliannya.
Kondisi itulah yang melatarbelakangi munculnya gerakan reformasi.
b.
Gerakan Reformasi
Munculnya gerakan reformasi dilatarbelakangi oleh
terjadinya krisis multidimensi yang dihadapi bangsa Indonesia. Semula gerakan
ini hanya berupa demonstrasi di kampus-kampus di berbagai daerah. Akan tetapi,
para mahasiswa harus turun ke jalan karena aspirasi mereka tidak mendapatkan
jalan keluar. Gerakan reformasi tahun 1998 mempunyai enam agenda antara lain
suksesi kepemimpinan nasional, amendemen UUD 1945, pemberantasan KKN,
penghapusan dwifungsi ABRI, penegakan supremasi hukum, dan pelaksanaan otonomi
daerah. Agenda utama gerakan reformasi adalah turunnya Soeharto dari jabatan
presiden. Berikut ini kronologi beberapa peristiwa penting selama gerakan
reformasi yang memuncak pada tahun 1998.
1)
Demonstrasi Mahasiswa
Desakan atas pelaksanaan reformasi dalam kehidupan
nasional dilakukan mahasiswa dan kelompok proreformasi. Pada tanggal 7 Mei 1998
terjadi demonstrasi mahasiswa di Universitas Jayabaya, Jakarta. Demonstrasi ini
berakhir bentrok dengan aparat dan mengakibatkan 52 mahasiswa terluka. Sehari
kemudian pada tanggal 8 Mei 1998 demonstrasi mahasiswa terjadi di Yogyakarta
(UGM dan sekitarnya). Demonstrasi ini juga berakhir bentrok dengan aparat dan
menewaskan seorang mahasiswa bernama Mozes Gatotkaca. Dalam kondisi ini,
Presiden Soeharto berangkat ke Mesir tanggal 9 Mei 1998 untuk menghadiri sidang
G 15.
2)
Peristiwa Trisakti
Tuntutan agar Presiden Soeharto mundur semakin
kencang disuarakan mahasiswa di berbagai tempat. Tidak jarang hal ini
mengakibatkan bentrokan dengan aparat keamanan. Pada tanggal 12 Mei 1998 empat
mahasiswa Universitas Trisakti, Jakarta tewas tertembak peluru aparat keamanan
saat demonstrasi menuntut Soeharto mundur. Mereka adalah Elang Mulya, Hery
Hertanto, Hendriawan Lesmana, dan Hafidhin Royan. Peristiwa Trisakti mengundang
simpati tokoh reformasi dan mahasiswa Indonesia.
3)
Kerusuhan Mei 1998
Penembakan aparat di Universitas Trisakti itu
menyulut demonstrasi yang lebih besar. Pada tanggal 13 Mei 1998 terjadi
kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan di Jakarta dan Solo. Kondisi ini memaksa
Presiden Soeharto mempercepat kepulangannya dari Mesir. Sementara itu, mulai
tanggal 14 Mei 1998 demonstrasi mahasiswa semakin meluas. Bahkan, para
demonstran mulai menduduki gedung-gedung pemerintah di pusat dan daerah.
4)
Pendudukan Gedung MPR/DPR
Mahasiswa Jakarta menjadikan gedung DPR/MPR sebagai
pusat gerakan yang relatif aman. Ratusan ribu mahasiswa menduduki gedung
rakyat. Bahkan, mereka menduduki atap gedung tersebut. Mereka berupaya menemui
pimpinan MPR/DPR agar mengambil sikap yang tegas. Akhirnya, tanggal 18 Mei 1998
Ketua MPR/DPR Harmoko meminta Soeharto turun dari jabatannya sebagai presiden.
Pernyataan Harmoko itu kemudian dibantah oleh Pangab Jenderal TNI Wiranto dan
mengatakannya sebagai pendapat pribadi.
Untuk mengatasi keadaan, Presiden Soeharto
menjanjikan akan mempercepat pemilu. Hal ini dinyatakan setelah Presiden
Soeharto mengundang beberapa tokoh masyarakat seperti Nurcholish Madjid dan
Abdurrahman Wahid ke Istana Negara pada tanggal 19 Mei 1998. Akan tetapi, upaya
ini tidak mendapat sambutan rakyat.
5)
Pembatalan Apel Kebangkitan Nasional
Momentum hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 1998
rencananya digunakan tokoh reformasi Amien Rais untuk mengadakan doa bersama di
sekitar Tugu Monas. Akan tetapi, beliau membatalkan rencana apel dan doa
bersama karena 80.000 tentara bersiaga di kawasan tersebut. Di Yogyakarta,
Surakarta, Medan, dan Bandung ribuan mahasiswa dan rakyat berdemonstrasi. Ketua
MPR/DPR Harmoko kembali meminta Soeharto mengundurkan diri pada hari Jumat
tanggal 22 Mei 1998 atau DPR/MPR akan terpaksa memilih presiden baru. Bersamaan
dengan itu, sebelas menteri Kabinet Pembangunan VII mengundurkan diri.
6)
Pengunduran Diri Presiden Soeharto
Pada dini hari tanggal 21 Mei 1998 Amien Rais selaku
Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah menyatakan, ”Selamat tinggal pemerintahan
lama dan selamat datang pemerintahan baru”. Ini beliau lakukan setelah
mendengar kepastian dari Yuzril Ihza Mahendra. Akhirnya, pada pukul 09.00 WIB
Presiden Soeharto membacakan pernyataan pengunduran dirinya. Itulah beberapa
peristiwa penting menyangkut gerakan reformasi tahun 1998. Soeharto
mengundurkan diri dari jabatan presiden yang telah dipegang selama 32 tahun.
Beliau mengucapkan terima kasih dan mohon maaf kepada seluruh rakyat Indonesia.
Beliau kemudian digantikan B.J. Habibie. Sejak saat itu Indonesia memasuki era
reformasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar