Senin, 13 Oktober 2014

EVALUASI PEMBELAJARAN

EVALUASI PEMBELAJARAN



1.      Pengalaman Evaluasi Pembelajaran apa yang penah kamu alami selama ini?
Evaluasi pembelajaran yang pernah saya alami dan rasanya tidak mudah untuk dilupakan sampai sekarang ini adalah Ujian Akhir Nasional Tingkat SMP (Sekolah Menengah Pertama).  Ujian Nasional yang terdiri dari empat mata pelajaran yaitu Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan IPA (Ilmu Pengetahuan Alam). Jenis soal dalam Ujian Nasional ini semuanya pilihan ganda karena mengerjakannya di LJK (Lembar Jawab Komputer) dengan cara menghitamkan bulatan yang sudah disediakan. Ujian Nasional dilaksanakan selama 3 hari dengan jadwal seperti berikut : Senin=Bahasa Indonesia, Selasa= Matematika, Rabu=Bahasa Inggris dan IPA. Soal Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris terdiri dari 50 butir soal dengan waktu 120 menit. Soal Matematika dan IPA terdiri dari 40 butir soal dengan waktu 120 menit.  Ujian Nasional saya saat SMP merupakan Ujian percobaan dari Dinas Pendidikan karena mata pelajaran IPA diikutsertakan sebagai tambahan. Hal ini tidak seperti Ujian Akhir Nasional tahun sebelumnya yang hanya menguji 3 mata pelajaran saja yaitu Matematika, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Empat mata pelajaran yang saya anggap sulit itu ternyata sangat menentukan nasib saya untuk mendapatkan ijazah SMP. Sebelumnya Evaluasi pembelajaran yang saya dapat di SMP yaitu dengan berbagai macam test baik lisan maupun tulisan. Di kelas VII evaluasi pembelajaran masih hampir sama dengan yang dilakukan oleh Bapak/ibu guru saya di SD. Hanya saja Bapak/ibu guru yang melakukan evaluasi pembelajaran berbeda-beda sedangkan saat di SD yang melakukan evaluasi pembelajaran adalah Guru Kelas(Wali Kelas) dan beberapa guru lain seperti guru bahasa inggris. Kelas VII dianggap masih dalam masa penyesuaian diri  dengan lingkungan sekolah baru yang tentu saja pembelajarannya berbeda dengan yang ada di SD.  Evaluasi pembelajaran di kelas VII dilakukan setiap selesai pembahasan 1 bab maka guru akan mengadakan ulangan harian. Jenis soalnya ada pilihan ganda (10), isian (5) dan essay (5). Soal tersebut berisi materi-materi yang sudah dipelajari. Selain itu ada juga penilaian perilaku (afektif) yang salah satunya dinilai dari keaktifan siswa saat mengikuti pelajaran. Misalnya saat guru memberikan soal dan mempersilahkan siswa yang mau maju ke depan untuk mengerjakannya maka siswa tersebut akan mendapatkan nilai (+). Siswa yang mau mendengarkan penjelasan guru juga akan mendapat nilai sikap yang baik. Nilai sikap kriterianya adalah : A=Amat Baik, B= Baik, C=Cukup, D=Kurang, E=Amat Kurang. Guru melakukan evaluasi pembelajaran selama satu semester dan akan dituliskan di buku rapor (Laporan Hasil Belajar) yang akan diserahkan pada wali murid setiap 6 bulan sekali. Evaluasi pembelajaran di kelas VIII hampir sama dengan yang ada di kelas VII. Namun, di kelas VIII ditambah dengan penilaian praktik. Adanya praktik ini diharapkan agar siswa akan lebih siap dalam menghadapi ujian praktik di kelas IX. Di kelas VIII ada praktik memasak nasi goreng (Pelajaran PKK), membuat majalah dinding (Pelajaran Bahasa Indonesia), observasi tempat bersejarah (IPS Sejarah). Memasak nasi goreng evaluasi pembelajarannya berupa beberapa aspek yang dinilai, seperti rasa dan tampilan hidangan. Sedangkan saat observasi di tempat sejarah saya dan teman-teman diberi tugas untuk membuat makalah yang berisi tentang tempat bersejarah yang sudah dikunjungi. Memasuki kelas IX  mata pelajaran difokuskan untuk yang akan di uji dalan Ujian Nasional. Ada beberapa jam tambahan yang di berikan oleh Sekolah agar siswa siap menghadapi Ujian Nasional. Setiap jam 06.00 saya harus sudah berada dikelas untuk mengikuti jam ke-0 (jam tambahan) dan pulang jam 3 karena ada jam tambahan lagi siang harinya. Saya terbilang anak yang rajin dalam mengikuti les karena saya tidak ingin nilai saya jelek saat ujian nanti. Jadi sebisa mungkin saya belajar, berusaha dan berdoa agar saya Lulus Ujian Nasional dengan Nilai yang memuaskan. Beratus-ratus soal serta pembahasannya dari Matematika sampai IPA telah diberikan oleh Bapak/Ibu Guru baik saat jam ke-0 maupun saat tutorial. Bapak dan Ibu guru juga memiliki harapan yang sama agar siswanya dapat Lulus dengan nilai yang memuaskan. Selain itu diadakan latihan Ujian Nasional (Try Out) untuk menguji seberapa sudah siapnya siswa untuk menghadapi Ujian Nasional. Sekolah saya bekerja sama dengan dengan Dinas Pendidikan setempat mengadakan Try Out tiga kali. Tiga kali Try Out itu saya hanya Lulus satu kali saja dengan nilai Matematika 4, Bahasa Indonesia 7, IPA 6, dan Bahasa Inggris 5.  Bapak ibu guru juga selalu memberikan dukungan mental misalnya dengan adanya acara doa bersama serta renungan bersama. Karena selain materi pelajaran yang dipersiapkan, mental siswa juga perlu dipersiapkan agar tidak down. Pada prinsipnya lebih baik mempersiapkan dengan matang dan menunggu hasil yang terbaik daripada hanya diam saja menunggu keberuntungan yang tidak selalu datang jika manusia tidak berusaha.
2.      Apakah alat evaluasi tersebut sudah baik atau belum? Apa alasannya?
Menurut pengalaman saya Ujian Nasional bukanlah sebuah evaluasi pembelajaran yang \baik. Ujian Nasional adalah sebuah momok yang mengerikan bagi setiap siswa. Bahkan Guru dan Sekolah pun menganggap Ujian Nasional sebagai momok. Saya sendiri sebagai seorang siswa pernah mengalami dan merasakan betapa menakutkannya Ujian Nasional itu. Saya benci dan sama sekali tidak suka dengan Ujian Nasional. Jika ada pilihan selain Ujian Nasional mungkin saya akan memilih alternative pilihan lain tersebut. Ujian Nasional hanya melihat hasil akhir saja dan tidak melihat proses belajar kita selama tiga tahun menuntut ilmu. Dalam ujian nasional tidak ada penilaian proses dan afektif (non test) yang ada hanya penilaian test (hasil akhir saja). Saya bersekolah di SMP selama 3 tahun dalam 6 semester. Namun, semua itu terasa tidak ada harganya saat Ujian Nasional. Nasib saya dan teman-teman hanya ditentukan dalam 3 hari dengan waktu mengerjakan seluruhnya adalah 480 menit. Perjuangan mencari nilai dikelas VII, VIII, dan IX seakan tidak ada artinya lagi yang berarti hanya 3 hari yang sangat menentukan masa depan. Kalo dalam 3 hari itu kita salah melangkah maka masa depan taruhannya. Ironis memang Ujian Nasional yang digembar-gemborkan sebagai sarana untuk meningkatkan kualitas pendidikan di negeri ini malah membuat anak bangsa terpuruk. Hari menjelang Ujian Nasional waktu saya habis untuk belajar belajar dan belajar agar saat Ujian nanti saya bisa mengerjakan soal-soal dengan benar. Saya juga selalu memohon kepada Tuhan agar Ia member saya kesehatan jasmani dan rohani untuk menghadapi Ujian Nasional. Saat Ujian Nasional tiba rasanya kepala saya ingin segera melepas kepenatan-kepenatan belajar selama ini dan saya tuangkan dalam jawaban-jawaban dari soal yang diujikan. Saya ujian dengan 5 teman di dalam ruangan, ditunggu oleh 2 orang Guru dari SMP lain, 2 pengawas Ujian Nasional dari salah satu Perguruan Tinggi Negeri serta 1 polisi yang siap berjaga di depan pintu untuk mengantarkan kami yang sedang ujian ke kamar mandi. Rasanya di dalam ruang Ujian sperti dipenjara dengan dijaga pengawal-pengawal yang cukup ketat penjagaannya. Di ruangan saya hanya terdapat 6 siswa saja karena saya dan teman-teman memiliki NIS (Nomor Induk Siswa) urutan paling akhir. Sedangkan 1 kelas harus berisi 20 siswa maka sisanya di ruang terakhir hanya ada 6 siswa. Saya mengerjakan soal-soal Ujian saya sendiri tanpa batuan dari siapapun termasuk teman. Akhirnya Nilai UNAS sudah keluar dan diiumumkan bersamaan dengan acara pelepasan di sekolah saya. Dan apa yang saya takutkan selama ini benar-benar terjadi. Ya ada pepatah Jawa mengatakan bahwa Orang pintar kalah dengan orang bejo (beruntung). Dari seluruh siswa yang mengikuti UNAS  di sekolah saya hanya satu orang yang tidak Lulus dan harus mengikuti Kejar Paket B. Karena hal itu pula predikat Sekolah saya sebagai Sekolah Standar Nasional (SSN) yang tahun itu akan diberikan terpaksa harus dicabut kembali karena kelulusan tidak 100 %. Saya bersyukur karena saya Lulus Ujian Nasional namun yang menyedihkan adalah saat nilai saya keluar. Jumlah keseluruhan nilai saya hanya 26,60 dari 4 mata pelajaran yang diujikan. Padahal nilai itu sangat penting untuk mencari sekolah. Orang tua saya kecewa dengan hasil UNAS saat itu. Mereka tidak menyangka anaknya yang selalu menjadi juara 1 di kelas VII, VIII, dan IX akan terpuruk seperti ini saat Ujian Nasional. Keadaan semakin menyulitkan saya ketika saya tidak diterima di sekolah favorit impian saya. Sampai akhirnya saya mendaftar di sekolah negeri yang jaraknya 30 menit dari rumah saya. Perasaan saya begitu sakit ketika semua orang yang dulunya memuji saya sekarang  menghina saya. Rasanya sudah tidak ada semangat lagi untuk belajar. Saya juga berfikir ebih baik jadi orang bodoh tapi saat UNAS nilainya melambung tinggi. Serasa semuanya tidak adil saya juga sempat menganggap Tuhan tidak adil dan jahat kepada saya. Ternyata apa yang saya pikirkan itu salah besar. Tuhan punya rencana yang sangat indah didalam hidup saya. Saat duduk di bangku SMA saya bertemu dengan teman saya, ia bercerita bahwa nilainya 32,89 ia sebenarnya ingin masuk ke sekolah favorit yang jaraknya agak jauh dari rumahnya tetapi karena faktor biaya ia akhirnya sekolah di SMA ini. Ya betapa bodohnya saya saat saya tidak mau menerima kenyataan dan berdamai dengan keadaan. Padahal diluar sana masih banyak orang yang lebih menderita dari saya. Semangat saya kembali pulih saat UNAS SMA karena UNAS SMA ini nilai rapor juga menentukan. Saya berhasil Lulus SMA dengan nilai rata-rata 8,57 dan bisa mendapat Juara parallel jika saya bersekolah di sekolah Favorit saya waktu itu.
3.      Apa yang akan kamu lakukan ketika menjadi Guru? Melakukan perubahan atau tidak?
Saya adalah mahasiswa PGSD jadi jika sudah lulus nanti saya akan menjadi seorang guru. Saat saya menjadi seorang Guru, sebisa mungkin saya akan mengubah cara evaluasi pembelajaran yang berupa ujian nasional tersebut. Karena ujian nasional hanya menilai hasil akhirnya saja dan tidak menilai proses siswa dalam belajar dan usahanya memahami pelajaran. Menurut saya penilaian yang baik adalah penilaian yang bertahap atau menggunakan proses. Contohnya saja penilaian perilaku berbasis non test (behavioral). Jadi menggunakan aspek kognitif dan afektif. Sedangkan apabila ujian nasional yang di nilai hanya kognitifnya saja dan itupun anak juga bisa memanipulasi jawaban dengan cara mencontek teman lain ataupun membeli kunci jawaban dari joki seperti yang pernah teman saya lakukan. Teman saya adalah anak yang suka membolos, suka berkelahi di kelas dll namun saat ujian nasional nilai rata-ratanya paling tinggi dari teman sekelasnya. Hal itu akan bisa mengakibatkan kecemburuan pada anak yang baik dan rajin. Mereka akan menganggap bahwa perilaku baik mereka selama ini seakan tidak dihargai. Berbeda jika menilai afektifnya juga karena kita akan lebih memahami karakter setiap siswa karena sebagai guru harus melakukan pengamatan perilaku secara langsung. Penilaian proses juga akan lebih akurat hasilnya dibandingkan dengan penilaian dengan UNAS.  UNAS bukan akan membuat siswa cerdas tapi malah sebaliknya. Ujian Nasional harusnya ditiadakan karenakan kurang efektif hanya buang-buang waktu dan tenaga. Pemerintah gampang mengadakan UNAS tapi tidak untuk para siswanya. Para siswa hanya dibuat uji coba seperti tikus percobaan. Mulai dari UNAS 3 paket sampai sekarang akan menjadi 20 paket. Pemerintah seharusnya memangkas tindakan korupsi bukannya menyulitkan masa depan generasi muda dengan membuat aturan-aturan UNAS yang semakin rumit. Rubah kurikulum agar tidak memberatkan siswa. Saya pernah dengar dari Deddy Cobuzier “ Sekolah itu penting…tetapi banyak yang salah. Terutama di Indonesia, sekolah dari TK hingga SMA itu percuma! kenapa?  Karena di Indonesia guru mendidik siswa menjadi GURU dengan mengaharuskan siswa bisa menguasai semua pelajaran. Ketika guru menguasai 1 pelajaran kenapa siswa harus menguasai semua pelajaran? Coba saja Guru Matematika dibandingkan dengan Guru Seni Budaya? Apakah guru tersebut menguasai semua mata pelajaran? Kenapa tidak sejak kecil di Indonesia tidak mengharuskan untuk anak itu memilih mata pelajaran sperti anak kuliah. Kuliah sejak kecil agar siswa tidak dijejali berbagai mata pelajaran sehingga kreatifitas anak tidak buntu.Karena siswa dari kecil dijejali banyak pelajaran, maka dia hanya memakai otak kiri untuk menghafal dan tidak menggunakan otak kanannya. Sampai sekarang saya masih berfikir sebenarnya apa yang harus dirubah? Sekolahnya atau sistemnya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar