EVALUASI PEMBELAJARAN
1. Pengalaman
Evaluasi Pembelajaran apa yang penah kamu alami selama ini?
Evaluasi
pembelajaran yang pernah saya alami dan rasanya tidak mudah untuk dilupakan
sampai sekarang ini adalah Ujian Akhir Nasional Tingkat SMP (Sekolah Menengah
Pertama). Ujian Nasional yang terdiri
dari empat mata pelajaran yaitu Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris,
dan IPA (Ilmu Pengetahuan Alam). Jenis soal dalam Ujian Nasional ini semuanya
pilihan ganda karena mengerjakannya di LJK (Lembar Jawab Komputer) dengan cara
menghitamkan bulatan yang sudah disediakan. Ujian Nasional dilaksanakan selama
3 hari dengan jadwal seperti berikut : Senin=Bahasa Indonesia, Selasa=
Matematika, Rabu=Bahasa Inggris dan IPA. Soal Bahasa Indonesia dan Bahasa
Inggris terdiri dari 50 butir soal dengan waktu 120 menit. Soal Matematika dan
IPA terdiri dari 40 butir soal dengan waktu 120 menit. Ujian Nasional saya saat SMP merupakan Ujian
percobaan dari Dinas Pendidikan karena mata pelajaran IPA diikutsertakan
sebagai tambahan. Hal ini tidak seperti Ujian Akhir Nasional tahun sebelumnya
yang hanya menguji 3 mata pelajaran saja yaitu Matematika, Bahasa Indonesia dan
Bahasa Inggris. Empat mata pelajaran yang saya anggap sulit itu ternyata sangat
menentukan nasib saya untuk mendapatkan ijazah SMP. Sebelumnya Evaluasi
pembelajaran yang saya dapat di SMP yaitu dengan berbagai macam test baik lisan
maupun tulisan. Di kelas VII evaluasi pembelajaran masih hampir sama dengan
yang dilakukan oleh Bapak/ibu guru saya di SD. Hanya saja Bapak/ibu guru yang melakukan
evaluasi pembelajaran berbeda-beda sedangkan saat di SD yang melakukan evaluasi
pembelajaran adalah Guru Kelas(Wali Kelas) dan beberapa guru lain seperti guru
bahasa inggris. Kelas VII dianggap masih dalam masa penyesuaian diri dengan lingkungan sekolah baru yang tentu
saja pembelajarannya berbeda dengan yang ada di SD. Evaluasi pembelajaran di kelas VII dilakukan
setiap selesai pembahasan 1 bab maka guru akan mengadakan ulangan harian. Jenis
soalnya ada pilihan ganda (10), isian (5) dan essay (5). Soal tersebut berisi
materi-materi yang sudah dipelajari. Selain itu ada juga penilaian perilaku
(afektif) yang salah satunya dinilai dari keaktifan siswa saat mengikuti
pelajaran. Misalnya saat guru memberikan soal dan mempersilahkan siswa yang mau
maju ke depan untuk mengerjakannya maka siswa tersebut akan mendapatkan nilai
(+). Siswa yang mau mendengarkan penjelasan guru juga akan mendapat nilai sikap
yang baik. Nilai sikap kriterianya adalah : A=Amat Baik, B= Baik, C=Cukup,
D=Kurang, E=Amat Kurang. Guru melakukan evaluasi pembelajaran selama satu
semester dan akan dituliskan di buku rapor (Laporan Hasil Belajar) yang akan
diserahkan pada wali murid setiap 6 bulan sekali. Evaluasi pembelajaran di
kelas VIII hampir sama dengan yang ada di kelas VII. Namun, di kelas VIII
ditambah dengan penilaian praktik. Adanya praktik ini diharapkan agar siswa
akan lebih siap dalam menghadapi ujian praktik di kelas IX. Di kelas VIII ada
praktik memasak nasi goreng (Pelajaran PKK), membuat majalah dinding (Pelajaran
Bahasa Indonesia), observasi tempat bersejarah (IPS Sejarah). Memasak nasi
goreng evaluasi pembelajarannya berupa beberapa aspek yang dinilai, seperti
rasa dan tampilan hidangan. Sedangkan saat observasi di tempat sejarah saya dan
teman-teman diberi tugas untuk membuat makalah yang berisi tentang tempat
bersejarah yang sudah dikunjungi. Memasuki kelas IX mata pelajaran difokuskan untuk yang akan di
uji dalan Ujian Nasional. Ada beberapa jam tambahan yang di berikan oleh
Sekolah agar siswa siap menghadapi Ujian Nasional. Setiap jam 06.00 saya harus
sudah berada dikelas untuk mengikuti jam ke-0 (jam tambahan) dan pulang jam 3
karena ada jam tambahan lagi siang harinya. Saya terbilang anak yang rajin
dalam mengikuti les karena saya tidak ingin nilai saya jelek saat ujian nanti.
Jadi sebisa mungkin saya belajar, berusaha dan berdoa agar saya Lulus Ujian
Nasional dengan Nilai yang memuaskan. Beratus-ratus soal serta pembahasannya
dari Matematika sampai IPA telah diberikan oleh Bapak/Ibu Guru baik saat jam
ke-0 maupun saat tutorial. Bapak dan Ibu guru juga memiliki harapan yang sama
agar siswanya dapat Lulus dengan nilai yang memuaskan. Selain itu diadakan
latihan Ujian Nasional (Try Out) untuk menguji seberapa sudah siapnya siswa
untuk menghadapi Ujian Nasional. Sekolah saya bekerja sama dengan dengan Dinas
Pendidikan setempat mengadakan Try Out tiga kali. Tiga kali Try Out itu saya
hanya Lulus satu kali saja dengan nilai Matematika 4, Bahasa Indonesia 7, IPA
6, dan Bahasa Inggris 5. Bapak ibu guru
juga selalu memberikan dukungan mental misalnya dengan adanya acara doa bersama
serta renungan bersama. Karena selain materi pelajaran yang dipersiapkan,
mental siswa juga perlu dipersiapkan agar tidak down. Pada prinsipnya lebih
baik mempersiapkan dengan matang dan menunggu hasil yang terbaik daripada hanya
diam saja menunggu keberuntungan yang tidak selalu datang jika manusia tidak
berusaha.
2. Apakah
alat evaluasi tersebut sudah baik atau belum? Apa alasannya?
Menurut
pengalaman saya Ujian Nasional bukanlah sebuah evaluasi pembelajaran yang \baik.
Ujian Nasional adalah sebuah momok yang mengerikan bagi setiap siswa. Bahkan
Guru dan Sekolah pun menganggap Ujian Nasional sebagai momok. Saya sendiri
sebagai seorang siswa pernah mengalami dan merasakan betapa menakutkannya Ujian
Nasional itu. Saya benci dan sama sekali tidak suka dengan Ujian Nasional. Jika
ada pilihan selain Ujian Nasional mungkin saya akan memilih alternative pilihan
lain tersebut. Ujian Nasional hanya melihat hasil akhir saja dan tidak melihat
proses belajar kita selama tiga tahun menuntut ilmu. Dalam ujian nasional tidak
ada penilaian proses dan afektif (non test) yang ada hanya penilaian test
(hasil akhir saja). Saya bersekolah di SMP selama 3 tahun dalam 6 semester.
Namun, semua itu terasa tidak ada harganya saat Ujian Nasional. Nasib saya dan
teman-teman hanya ditentukan dalam 3 hari dengan waktu mengerjakan seluruhnya
adalah 480 menit. Perjuangan mencari nilai dikelas VII, VIII, dan IX seakan
tidak ada artinya lagi yang berarti hanya 3 hari yang sangat menentukan masa
depan. Kalo dalam 3 hari itu kita salah melangkah maka masa depan taruhannya.
Ironis memang Ujian Nasional yang digembar-gemborkan sebagai sarana untuk
meningkatkan kualitas pendidikan di negeri ini malah membuat anak bangsa
terpuruk. Hari menjelang Ujian Nasional waktu saya habis untuk belajar belajar
dan belajar agar saat Ujian nanti saya bisa mengerjakan soal-soal dengan benar.
Saya juga selalu memohon kepada Tuhan agar Ia member saya kesehatan jasmani dan
rohani untuk menghadapi Ujian Nasional. Saat Ujian Nasional tiba rasanya kepala
saya ingin segera melepas kepenatan-kepenatan belajar selama ini dan saya
tuangkan dalam jawaban-jawaban dari soal yang diujikan. Saya ujian dengan 5
teman di dalam ruangan, ditunggu oleh 2 orang Guru dari SMP lain, 2 pengawas
Ujian Nasional dari salah satu Perguruan Tinggi Negeri serta 1 polisi yang siap
berjaga di depan pintu untuk mengantarkan kami yang sedang ujian ke kamar
mandi. Rasanya di dalam ruang Ujian sperti dipenjara dengan dijaga
pengawal-pengawal yang cukup ketat penjagaannya. Di ruangan saya hanya terdapat
6 siswa saja karena saya dan teman-teman memiliki NIS (Nomor Induk Siswa)
urutan paling akhir. Sedangkan 1 kelas harus berisi 20 siswa maka sisanya di
ruang terakhir hanya ada 6 siswa. Saya mengerjakan soal-soal Ujian saya sendiri
tanpa batuan dari siapapun termasuk teman. Akhirnya Nilai UNAS sudah keluar dan
diiumumkan bersamaan dengan acara pelepasan di sekolah saya. Dan apa yang saya
takutkan selama ini benar-benar terjadi. Ya ada pepatah Jawa mengatakan bahwa
Orang pintar kalah dengan orang bejo (beruntung). Dari seluruh siswa yang
mengikuti UNAS di sekolah saya hanya
satu orang yang tidak Lulus dan harus mengikuti Kejar Paket B. Karena hal itu
pula predikat Sekolah saya sebagai Sekolah Standar Nasional (SSN) yang tahun
itu akan diberikan terpaksa harus dicabut kembali karena kelulusan tidak 100 %.
Saya bersyukur karena saya Lulus Ujian Nasional namun yang menyedihkan adalah
saat nilai saya keluar. Jumlah keseluruhan nilai saya hanya 26,60 dari 4 mata
pelajaran yang diujikan. Padahal nilai itu sangat penting untuk mencari
sekolah. Orang tua saya kecewa dengan hasil UNAS saat itu. Mereka tidak
menyangka anaknya yang selalu menjadi juara 1 di kelas VII, VIII, dan IX akan
terpuruk seperti ini saat Ujian Nasional. Keadaan semakin menyulitkan saya
ketika saya tidak diterima di sekolah favorit impian saya. Sampai akhirnya saya
mendaftar di sekolah negeri yang jaraknya 30 menit dari rumah saya. Perasaan
saya begitu sakit ketika semua orang yang dulunya memuji saya sekarang menghina saya. Rasanya sudah tidak ada
semangat lagi untuk belajar. Saya juga berfikir ebih baik jadi orang bodoh tapi
saat UNAS nilainya melambung tinggi. Serasa semuanya tidak adil saya juga
sempat menganggap Tuhan tidak adil dan jahat kepada saya. Ternyata apa yang
saya pikirkan itu salah besar. Tuhan punya rencana yang sangat indah didalam
hidup saya. Saat duduk di bangku SMA saya bertemu dengan teman saya, ia
bercerita bahwa nilainya 32,89 ia sebenarnya ingin masuk ke sekolah favorit
yang jaraknya agak jauh dari rumahnya tetapi karena faktor biaya ia akhirnya
sekolah di SMA ini. Ya betapa bodohnya saya saat saya tidak mau menerima
kenyataan dan berdamai dengan keadaan. Padahal diluar sana masih banyak orang
yang lebih menderita dari saya. Semangat saya kembali pulih saat UNAS SMA
karena UNAS SMA ini nilai rapor juga menentukan. Saya berhasil Lulus SMA dengan
nilai rata-rata 8,57 dan bisa mendapat Juara parallel jika saya bersekolah di
sekolah Favorit saya waktu itu.
3. Apa
yang akan kamu lakukan ketika menjadi Guru? Melakukan perubahan atau tidak?
Saya
adalah mahasiswa PGSD jadi jika sudah lulus nanti saya akan menjadi seorang
guru. Saat saya menjadi seorang Guru, sebisa mungkin saya akan mengubah cara
evaluasi pembelajaran yang berupa ujian nasional tersebut. Karena ujian
nasional hanya menilai hasil akhirnya saja dan tidak menilai proses siswa dalam
belajar dan usahanya memahami pelajaran. Menurut saya penilaian yang baik
adalah penilaian yang bertahap atau menggunakan proses. Contohnya saja
penilaian perilaku berbasis non test (behavioral). Jadi menggunakan aspek
kognitif dan afektif. Sedangkan apabila ujian nasional yang di nilai hanya
kognitifnya saja dan itupun anak juga bisa memanipulasi jawaban dengan cara
mencontek teman lain ataupun membeli kunci jawaban dari joki seperti yang
pernah teman saya lakukan. Teman saya adalah anak yang suka membolos, suka
berkelahi di kelas dll namun saat ujian nasional nilai rata-ratanya paling
tinggi dari teman sekelasnya. Hal itu akan bisa mengakibatkan kecemburuan pada
anak yang baik dan rajin. Mereka akan menganggap bahwa perilaku baik mereka
selama ini seakan tidak dihargai. Berbeda jika menilai afektifnya juga karena
kita akan lebih memahami karakter setiap siswa karena sebagai guru harus melakukan
pengamatan perilaku secara langsung. Penilaian proses juga akan lebih akurat
hasilnya dibandingkan dengan penilaian dengan UNAS. UNAS bukan akan membuat siswa cerdas tapi
malah sebaliknya. Ujian Nasional harusnya ditiadakan karenakan kurang efektif
hanya buang-buang waktu dan tenaga. Pemerintah gampang mengadakan UNAS tapi
tidak untuk para siswanya. Para siswa hanya dibuat uji coba seperti tikus
percobaan. Mulai dari UNAS 3 paket sampai sekarang akan menjadi 20 paket.
Pemerintah seharusnya memangkas tindakan korupsi bukannya menyulitkan masa
depan generasi muda dengan membuat aturan-aturan UNAS yang semakin rumit. Rubah
kurikulum agar tidak memberatkan siswa. Saya pernah dengar dari Deddy Cobuzier
“ Sekolah itu penting…tetapi banyak yang salah. Terutama di Indonesia, sekolah
dari TK hingga SMA itu percuma! kenapa?
Karena di Indonesia guru mendidik siswa menjadi GURU dengan
mengaharuskan siswa bisa menguasai semua pelajaran. Ketika guru menguasai 1
pelajaran kenapa siswa harus menguasai semua pelajaran? Coba saja Guru
Matematika dibandingkan dengan Guru Seni Budaya? Apakah guru tersebut menguasai
semua mata pelajaran? Kenapa tidak sejak kecil di Indonesia tidak mengharuskan
untuk anak itu memilih mata pelajaran sperti anak kuliah. Kuliah sejak kecil agar
siswa tidak dijejali berbagai mata pelajaran sehingga kreatifitas anak tidak
buntu.Karena siswa dari kecil dijejali banyak pelajaran, maka dia hanya memakai
otak kiri untuk menghafal dan tidak menggunakan otak kanannya. Sampai sekarang
saya masih berfikir sebenarnya apa yang harus dirubah? Sekolahnya atau
sistemnya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar