Senin, 01 Desember 2014

PEMBERONTAKAN ANGKATAN PERANG RATU ADIL (APRA)

PEMBERONTAKAN ANGKATAN PERANG RATU ADIL (APRA)

Kepercayaan rakyat Indonesia akan datangnya Ratu Adil dimanfaatkan Westerling untuk meraih massa guna mewujudkan keinginannya. Kepercayaan tersebut memperlihatkan bahwa sebagian rakyat Indonesia yang telah lama menderita karena penjajahan, baik oleh Belanda atau Jepang, mendambakan datangnya suatu masa kemakmuran seperti yang terdapat dalam ramalan Jayabaya.
A.    Peran Westerling dalam Pembentukan APRA
Raymond Pierre Paul Westerling lahir di Istanbul, 31 Agustus 1919 dan meninggal di Belanda, 26 November 1987 pada usia 68 tahun. Westerling lahir sebagai anak kedua dari Paul Westerling dan Sophia Moutzou. Dia komandan pasukan Belanda yang terkenal karena memimpin Pembantaian Westerling pada tahun 1946 sampai 1947 di Sulawesi Selatan dan percobaan kudeta APRA di Bandung, Jawa Barat.
Westerling yang dijuluki si Turki karena lahir di Istanbul, mendapat pelatihan khusus di Skotlandia. Dia masuk dinas militer pada 26 Agustus 1941 di Kanada. Pada 27 Desember 1941 dia tiba di Inggris dan bertugas di Brigade Prinses Irene di Wolverhampton, dekat Birmingham.
Westerling termasuk 48 orang Belanda sebagai angkatan pertama yang memperoleh latihan khusus di Commando Basic Training Centre di Achnacarry, di Pantai Skotlandia yang tandus, dingin dan tak berpenghuni. Melalui pelatihan yang sangat keras dan berat, mereka dipersiapkan untuk menjadi komandan pasukan Belanda di Indonesia. Seorang instruktur Inggris sendiri mengatakan pelatihan ini sebagai neraka di dunia. Pelatihan dan pelajaran yang mereka peroleh antara lain perkelahian tangan kosong, penembakan tersembunyi, berkelahi dan membunuh tanpa senjata api, membunuh pengawal dan sebagainya. Setelah bertugas di Eastbourne sejak 31 Mei 1943, maka bersama 55 orang sukarelawan Belanda lainnya pada 15 Desember 1943, Sersan Westerling berangkat ke India untuk betugas di bawah Laksamana Madya Mountbatten Panglima Komando Asia Tenggara. Mereka tiba di India pada 15 Januari 1944 dan ditempatkan di Kedgaon, 60 km di utara kota Poona.
Pada 20 Juli 1946, Westerling diangkat menjadi komandan Depot Speciale Troepen (DST) atau Depot Pasukan Khusus. Awalnya, penunjukkan Westerling memimpin DST ini hanya untuk sementara sampai diperoleh komandan yang lebih tepat dan pangkatnya pun tidak dinaikkan, tetap Letnan II (Cadangan). Namun dia berhasil meningkatkan mutu pasukan menjelang penugasan ke Sulawesi Selatan dan setelah berhasil menumpas perlawanan rakyat pendukung Republik di Sulawesi Selatan, dia dianggap sebagai pahlawan namanya membumbung tinggi.
B.     Latar Belakang Terjadinya Pemberontaka APRA
APRA merupakan pemberontakan yang paling awal terjadi setelah Indonesia diakui kedaulatannya oleh Belanda. Hasil Konferensi Meja Bundar yang menghasilkan suatu bentuk negara Federal untuk Indonesia dengan nama RIS (Republik Indonesia Serikat). Suatu bentuk negara ini merupakan suatu proses untuk kembali ke NKRI, karena memang hampir semua masyarakat dan perangkat-perangkat pemerintahan di Indonesai tidak setuju dengan bentuk negara federal. Tapi juga tidak sedikit yang tetap menginginkan Indonesia dengan bentuk negara federal, hal ini menimbulkan banyak pemberontakan-pemberontakan atau kekacauan-kekacauan yang terjadi pada saat itu. Pemberontakan- pemberontakan ini dilakukan oleh golongan- golongan tertentu yang mendapatkan dukungan dari Belanda karena merasa takut jika Belanda meninggalkan Indonesia maka hak-haknya atas Indonesia akan hilang.
Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) dibawah pimpinan Kapten Raymond Westerling merupakan gerakan yang didalangi oleh golongan kolonialis Belanda. Salah satu landasan bagi gerakan APRA ini adalah kepercayaan rakyat Indonesia akan datangnya Ratu Adil. Westerling memahami bahwa sebagian rakyat Indonesia yang telah lama menderita karena penjajahan, baik oleh Belanda atau Jepang, mendambakan datangnya suatu masa kemakmuran seperti yang terdapat dalam ramalan Jayabaya. Menurut ramalan itu akan datang seorang pemimpin yang disebut Ratu Adil, yang akan memerintah rakyat dengan adil dan bijaksana, sehingga keadaan akan aman dan damai dan rakyat akan makmur dan sejahtera. Tidak hanya rakyat-rakyat biasa yang dihimpun Westerling untuk menjadi tentaranya tetapi mantan tentara KNIL yang pro terhadap Belanda juga ikut menjadi bagian dari tentara APRA. Ada satu hal yang menarik bahwa kendaraan-kendaraan yang digunakan oleh KNIL maupun KL dalam melancarkan aksinya diberi tanda segitiga orange sebagai lambang negara Belanda
Sebenarnya organisasi ini sudah dibentuk sebelum Konferensi Meja Bundar itu disahkan. Pada bulan November 1949, dinas rahasia militer Belanda menerima laporan, bahwa Westerling telah mendirikan organisasi rahasia yang mempunyai pengikut sekitar 500.000 orang. Laporan yang diterima Inspektur Polisi Belanda J.M. Verburgh pada 8 Desember 1949 menyebutkan bahwa nama organisasi bentukan Westerling adalah "Ratu Adil Persatuan Indonesia" (RAPI) dan memiliki satuan bersenjata yang dinamakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). Pengikutnya kebanyakan adalah mantan anggota KNIL dan yang melakukan desersi dari pasukan khusus KST/RST. Dia juga mendapat bantuan dari temannya orang Tionghoa, Chia Piet Kay, yang dikenalnya sejak berada di kota Medan.
Tujuan Westerling membentuk APRA ini adalah mengganggu prosesi pengakuan kedaulatan dari Kerajaan Belanda kepada pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 27 Desember 1949. Upaya itu dihalangi oleh Letnan Jenderal Buurman van Vreeden, Panglima Tertinggi Tentara Belanda. Tujuan lainnya adalah untuk mempertahankan bentuk negara federal di Indonesia dan adanya tentara tersendiri pada negara-negara bagian RIS .
C.    Jalannya Pemberontakan APRA
Pemberontakan yang dilakukan oleh Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang dipimpin oleh mantan Kapten KNIL Raymond Westerling bukanlah pemberontakan yang dilancarkan secara spontan. Pemberontakan ini telah direncanakan sejak beberapa bulan sebelumnya oleh Westerling dan bahkan telah diketahui oleh pimpinan tertinggi militer Belanda.
Pada 25 Desember 1949 malam, sekitar pukul 20.00 Westerling menghubungi Letnan Jenderal Buurman van Vreeden, Panglima Tertinggi Tentara Belanda untuk menanyakan bagaimana pendapat van Vreeden mengenai rencananya untuk melakukan kudeta terhadap Soekarno setelah penyerahan kedaulatan dari Belanda terhadap Indonesia. Van Vreeden memang telah mendengar berbagai rumor, antara lain ada sekelompok militer yang akan mengganggu jalannya penyerahan kedaulatan, tidak terkecuali rumor mengenai pasukan yang dipimpin oleh Westerling. Jenderal van Vreeden, sebagai yang harus bertanggung-jawab atas kelancaran penyerahan kedaulatan pada 27 Desember 1949 tersebut memperingatkan Westerling agar tidak melakukan tindakan seperti apa yang diungkapkan padanya.
Pada hari Kamis tanggal 5 Januari 1950, Westerling mengirim surat kepada pemerintah RIS yang isinya adalah sebuah ultimatum. Westerling menuntut agar Pemerintah RIS menghargai negara-negara bagian, terutama Negara Pasundan serta Pemerintah RIS harus mengakui APRA sebagai tentara Pasundan. Pemerintah RIS harus memberikan jawaban positif terkait ultimatum tersebut dalm waktu 7 hari dan apabila ditolak, maka akan timbul perang besar. Ultimatum Westerling ini tentu menimbulkan kegelisahan tidak saja di kalangan RIS, namun juga di pihak Belanda dan dr. H.M. Hirschfeld, Nederlandse Hoge Commissaris (Komisaris Tinggi Belanda) yang baru tiba di Indonesia. Kabinet RIS menghujani Hirschfeld dengan berbagai pertanyaan yang membuatnya menjadi sangat tidak nyaman. Menteri Dalam Negeri Belanda, Stikker menginstruksikan kepada Hirschfeld untuk menindak semua pejabat sipil dan militer Belanda yang bekerjasama dengan Westerling.
Pada 10 Januari 1950 Hatta menyampaikan kepada Hirschfeld, bahwa pihak Indonesia telah mengeluarkan perintah penangkapan terhadap Westerling. Sebelumnya, ketika Lovink masih menjabat sebagai Wakil Tinggi Mahkota (WTM), dia telah menyarankan Hatta untuk mengenakan pasal exorbitante rechten terhadap Westerling. Sementara itu, Westerling mengunjung Sultan Hamid II di Jakarta. Sebelumnya, mereka pernah bertemu bulan Desember 1949. Westerling menerangkan tujuannya, dan meminta Hamid menjadi pemimpin gerakan mereka. Hamid ingin mengetahui secara rinci mengenai organisasi Westerling tersebut, namun dia tidak memperoleh jawaban yang memuaskan dari Westerling. Pertemuan hari itu tidak membuahkan hasil apapun.
Pertengahan Januari 1950, Menteri UNI dan Urusan Provinsi Seberang Lautan, Mr.J.H. van Maarseven berkunjung ke Indonesia untuk mempersiapkan pertemuan Uni Indonesia-Belanda yang akan diselenggarakan pada bulan Maret 1950. Hatta menyampaikan kepada Maarseven, bahwa dia telah memerintahkan kepolisian untuk menangkap Westerling. Ketika berkunjung ke Belanda, Menteri Perekonomian RIS Juanda pada 20 Januari 1950 menyampaikan kepada Menteri Götzen, agar pasukan elit RST yang dipandang sebagai faktor risiko, secepatnya dievakuasi dari Indonesia. Sebelum itu, satu unit pasukan RST telah dievakuasi ke Ambon dan tiba di Ambon tanggal 17 Januari 1950. Pada 21 Januari Hirschfeld menyampaikan kepada Götzen bahwa Jenderal Buurman van Vreeden dan Menteri Pertahanan Belanda Schokking telah menggodok rencana untuk evakuasi pasukan RST.
Namun upaya mengevakuasi Reciment Speciaale Troepen, gabungan baret merah dan baret hijau terlambat dilakukan. Westerling mendengar mengenai rencana tersebut dari beberapa bekas anak buahnya, sebelum deportasi pasukan RST ke Belanda dimulai, pada 23 Januari 1950 Westerling melancarkan "kudetanya." Subuh pukul 4.30 hari itu, Letnan Kolonel KNIL T. Cassa menelepon Jenderal Engles dan melaporkan: "Satu pasukan kuat APRA bergerak melalui Jalan Pos Besar menuju Bandung." Namun laporan Letkol Cassa tidak mengejutkan Engles, karena sebelumnya, pada 22 Januari pukul 21.00 dia telah menerima laporan, bahwa sejumlah anggota pasukan RST dengan persenjataan berat telah melakukan desersi dan meninggalkan tangsi militer di Batujajar. Mayor KNIL G.H. Christian dan Kapten KNIL J.H.W. Nix melaporkan, bahwa "compagnie Erik" yang berada di Kampemenstraat juga akan melakukan desersi pada malam itu dan bergabung dengan APRA untuk ikutserta dalam kudeta, namun dapat digagalkan oleh komandannya sendiri, Kapten G.H.O. de Witt. Engles segera membunyikan alarm besar dan segera menghubungi Letnan Kolonel TNI Sadikin, Panglima Divisi Siliwangi. Engles juga melaporkan kejadian ini kepada Jenderal Buurman van Vreeden di Jakarta.
Mulanya penduduk kota Bandung tidak terlalu curiga karena adalah hal yang biasa tentara hilir mudik keluar masuk kota Bandung pada masa itu, walau Perang kemerdekaan dianggap sudah berakhir.  Tentara APRA pada saat itu  menggunakan truk,  jeep, motorfiets, serta ada yang berjalan kaki dengan seragam dan bersenjata lengkap dan jumlahnya ditaksir antara 500-800  personel.
Namun ketika mereka mengadakan steling di gang-gang di sepanjang jalan Cimahi-Bandung sambil melepas tembakan ke udara.  Bahkan  ada di antara mereka yang mengarahkan tembakan  kebeberapa rumah penduduk. Barulah setelah mendengar suara tembakan tersebut,  warga seketika menjadi was-was. Sejumlah polisi yang menjaga pos-pos sepanjang  jalan raya Cimindi-Cibereum dilucuti senjatanya. Sesampainya di kota kepanikan rakyat semakin menjadi-jadi, banyak toko dan rumah ditutup dan jalanan pun menjadi sepi.
Di jalan perapatan Banceuy, seorang TNI yang mengendarai jip dan tidak bersenjata diberhentikan. Tentara itu diperintahkan untuk turun dan mengangkat tangan lalu dengan keji ditembak mati.  Pasukan APRA bergerak di Jalan Braga, di muka Apotheek Rathkam sebuah mobil sedan juga diberhentikan.  Tiga penumpangnya juga diperintahkan untuk turun, di antaranya seorang perwira TNI. Tanda pangkat perwira itu diambil dan kemudian dia dibunuh.  Dua orang sipil yang bersama tentara tadi kemudian diangkut  dengan truk.
Tentara APRA juga mengadakan aksi di depan Hotel Preanger. Mereka menyerang sebuah truk berisi tiga orang TNI. Perlawanan dari TNI baru terjadi di Jalan Merdeka, sekalipun tidak seimbang. Setelah tembak-menembak sekitar 15 menit, 10 orang TNI gugur. Tentara APRA juga menyerang truk yang dikendarai 7 orang serdadu TNI di perempatan Suniaraja-Braga. Truk itu ditembaki dari depan dan belakang.
Perlawanan yang  cukup hebat terjadi di Kantor Kwartir Divisi Siliwangi Oude Hospitaalweg.  Satu regu stafdekking TNI terdiri dari 15 orang dipimpin Letkol (Overste ) Sutoko  dikepung tentara APRA yang jumlahnya lebih banyak.  Benar-benar pertempuran sampai peluru terakhir. Letkol Sutoko,  Letkol Abimanyu dan seorang opsir lainnya dapat menyelamatkan diri.  Lainnya tewas. Markas itu diduduki dan tentara APRA merampok brandkas sebesar F150.000.
Pertempuran juga terjadi di kantor stafkwartier Divisi Siliwangi Jalan Lembang. Satu rgu stafdekking TNI terdiri dari 15 orang dipimpin Overste Sutoko dengan tiba2 dikerubungi oleh ratusan APRA. Pertempuran berlangsung kurang lebih setengah jam. Pertempuran dilakukan hingga peluru terakhir. Everste Sutoko, Abimanyu, dan seorang opsir lainnya dapat menyelamatkan diri, lainnya tewas. APRA kemudian berhasil menduduki stafkwartier dan membongkar brandkast yang isinya Rp. 150.000, jumlah yang cukup besar untuk saat itu. Selain itu, mayat-mayat dari TNI dan sipil pun bergelimpangan antara jalan Braga hingga jalan Jawa. Di antara orang-orang sipil yang tewas, kabarnya menjadi korban karena mereka berani menjawab “Jogja”, ketika ditanyakan “Pilih Pasundan atau Jogja?” oleh pasukan APRA.
Perwira TNI lainnya yang gugur ialah Letkol Lembong dan ajudannya Leo Kailola.  Mereka dihujani peluru ketika hendak masuk Markas Divisi Siliwangi yang ternyata sudah diduki oleh gerombolan APRA.  Keseluruhan 79 orang menajdi korban  keganasan gerombolan ini.  Mereka adalah 61 serdadu TNI  dan 18 orang lainnya yang tidak diketahui namanya karena tidak mempunyai tanda-tanda  atau surat dalam  pakaiannya.
Sementara Westerling memimpin penyerangan di Bandung, sejumlah anggota pasukan RST dipimpin oleh Sersan Meijer menuju Jakarta dengan maksud menangkap Presiden Sukarno dan menduduki gedung-gedung pemerintahan. Namun dukungan dari pasukan KNIL lain dan TII (Tentara Islam Indonesia) yang diharapkan Westerling tidak muncul, sehingga "serangan" ke Jakarta gagal total. Demikian juga secara keseluruhan, pelaksanaan "kudeta" tidak seperti yang diharapkan oleh Westerling dan anak buahnya.
Setelah puas melakukan pembantaian di Bandung, seluruh pasukan RST dan satuan-satuan yang mendukungnya kembali ke tangsi masing-masing. Westerling sendiri berangkat ke Jakarta, di mana dia pada 24 Januari 1950 bertemu lagi dengan Sultan Hamid II di Hotel Des Indes. Hamid yang didampingi oleh sekretarisnya, dr. J. Kiers, melancarkan kritik pedas terhadap Westerling atas kegagalannya dan menyalahkan Westerling telah membuat kesalahan besar di Bandung. Tak ada perdebatan, dan sesaat kemudian Westerling pergi meninggalkan hotel.
Setelah itu terdengar berita bahwa Westerling merencanakan untuk mengulang tindakannya. Pada 25 Januari Hatta menyampaikan kepada Hirschfeld, bahwa Westerling, didukung oleh RST dan Darul Islam, akan menyerbu Jakarta. Engles juga menerima laporan, bahwa Westerling melakukan konsolidasi para pengikutnya di Garut, salah satu basis Darul Islam waktu itu.
Aksi militer yang dilancarkan oleh Westerling bersama APRA yang antara lain terdiri dari pasukan elit tentara Belanda, tentu menjadi berita utama media massa di seluruh dunia. Hugh Laming, koresponden Kantor Berita Reuters yang pertama melansir pada 23 Januari 1950 dengan berita yang sensasional. Osmar White, jurnalis Australia dari Melbourne Sun memberitakan di halaman muka: "Suatu krisis dengan skala internasional telah melanda Asia Tenggara." Untuk dunia internasional, Belanda sekali lagi duduk di kursi terdakwa. Duta Besar Belanda di AS, van Kleffens melaporkan bahwa di mata orang Amerika, Belanda secara licik sekali lagi telah mengelabui Indonesia, dan serangan di Bandung dilakukan oleh "de zwarte hand van Nederland" (tangan hitam dari Belanda).
D.    Penumpasan APRA
Ketika terjadi pemberontakan APRA tidak dilakukan perlawanan yang berarti, hal ini disebabkan karena beberapa faktor. Pertama, karena serangan dilakukan dengan sangat tiba-tia, pembalasan tembakan pun tidak dilakukan karena orang-orang APRA bercampur dengan orang KNIL dan KL. Sedangkan mengenai latar belakang aksinya, diduga keras bahwa APRA ingin mendukung berdirinya negara Pasundan, supaya negara ini bisa berdiri tanpa gangguan TNI dan menggunakan APRA sebagai angkatan perangnya.
Secara umum boleh pasukan Divisi Siliwangi TNI tidak siap karena baru saja memasuki Kota Bandung setelah perjanjian KMB. Panglima Siliwangi Kolonel Sadikin dan Gubernur Jawa Barat Sewaka  pada saat kejadian  sedang mengadakan peninjauan ke Kota Subang.  Sementara di  Jakarta  pada pukul 11.00 bertempat di kantor Perdana Mentri RIS diadakan perundingan antara Perdana Mentri RIS dan Komisaris Tinggi Kerajaan Belanda di Indonesia.  Terungkap adanya keterlibatan  tentara Belanda (diperkirakan sekitar 300 tentara Belanda berada di antara pasukan APRA)  dalam peristiwa di Bandung itu, maka diputuskan tindakan bersama.
Jendral Engels akhirnya memerintahkan pasukan APRA untuk kembali ke Batujajar, baik karena diperintah atasannya, maupun ancaman dari Divisi Siliwangi yang tidak menjamin keselamatan warga Belanda yang berjumlah ribuan di kota Bandung.  Pada hari itu juga pasukan APRA meninggalkan Kota Bandung.  Operasi penumpasan dan pengejaran terhadap gerombolan APRA yang sedang melakukan gerakan mundur segera dilakukan oleh TNI.  Sisa pasukan Wasterling di bawah pimpinan Van der Meulen yang bukan anggota KNIL Batujajar dan polisi yang menuju Jakarta,  pada  24 Januari 1950 dihancurkan Pasukan Siliwangi dalam pertempuran daerah Cipeuyeum dan sekitar Hutan Bakong dan dapat disita  beberapa truk dan pick up, tiga pucuk bren, 4 pucuk senjata ukuran 12,7 dan berpuluh karaben.
Pada 24 Januari 1950 tengah malam terjadi tembak-menembak di Kramatalaan No.29 Jakarta antara pauskan TNI dengan geromboan yang diduga adalah deseteurs (anggota tentara yang melarikan diri dari dinasi tentara).  Tembak-menembak tersebut berlangsung sampai 25 januari 1950 pagi.  Dalam penggerebekan pasukan kita berhasil merampas 30 pucuk owens-guns.
Di kota Bandung juga diadakan pembersihan dan penahanan terhadap mereka yang terlibat, termasuk beberapa orang tokoh Negara Pasundan.  Bagaimana dengan Wasterling? Setelah melarikan diri dari Bandung, Westerling masih melanjutkan petualangannya di Jakarta. la merencanakan suatu gerakan untuk menangkap semua Menteri RIS yang sedang menghadiri sidang kabinet, dan membunuh Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan Mr. A. Budiardjo, dan Pejabat Kepala Staf Angkatan Perang Kolonel T.B. Simatupang.
Gerakan tersebut dapat digagalkan dan kemudian diketahui bahwa otaknya adalah Sultan Hamid II, yang juga menjadi anggota Kabinet RIS sebagai Menteri tanpa portofolio. Sultan Hamid II dapat segera ditangkap, sedangkan Westerling sempat melarikan diri ke luar negeri pada 22 Februari 1950 dengan menumpang pesawat Catalina milik Angkatan Laut Belanda. Dengan kaburnya Wasterling, maka gerakannya pun jadi bubar.
E.     Dampak Pemberontakan APRA
Bila dilihat dari latar belakang pemberontakan yang dilakukan oleh APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) yang diketuai oleh Raymond Pierre Westerling ini bertujuan untuk mendapat pengakuan dari pemerintah RIS yang ingin diakui sebagai tentara Pasundan. Selain itu, pemberontakan ini juga bertujuan untuk tetap mempertahankan pemerintahan Reupblik Federal dan tidak menginginkan adanya penyerahan kedaulatan serta adanya tentara tersendiri di negara-negara bagian RIS. Sehingga terjadilah pemberontakan APRA ini yang terjadi di Bandung.
Dalam pemberontakan ini, APRA berhasil menduduki markas dari Kodam Divisi Siliwangi berhasil diduduki pada tanggal 23 Januari 1950 dan juga membunuh para tentara Indonesia yang bermaksud untuk melawan. Salah satu tentara yang terbunuh ialah Letnan Kolonel Lembong tewas pada peristiwa ini. Bandung pun dapat dikuasai sementara oleh pasukan APRA untuk beberapa jam. Dalam peristiwa ini juga menyebabkan 79 orang APRIS tewas dan juga beberapa masyarakat sekitar juga mnejadi korban kekejaman pemberontakan ini. Dengan terjadinya peristiwa ini di Bandung membuat pemerintah mengirimkan pasukan APRI ke Bandung untuk menumpas gerakan pemberontakan APRA. Pada akhirnya gerakan pemberontakan APRA berhasil ditumpas oleh APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia).
Perisitiwa merupakan suatu konspirasi diantara Raymond Pierre Westerling dan Sultan Hamid II dari Pontianak. Ketika pemberontakan yang di Bandung itu berakhir, Jakarta menjadi target berikutnya. Dalam misi kali ini APRA ingin menyerang Jakarta serta ingin membunuh menteri-menteri RIS seperti Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Mr. Ali Budiarjo dan Kolonel TB Simatupang pada tanggal 26 Januari 1950.
Namun aksi dari APRA untuk menyerang Jakarta sudah diketahui sebelumnya oleh jajaran petinggi pemerintahan sehingga aksi tersebut dapat digagalkan dan konspirasi diantara Westerling dan Sultan Hamid II ini terbongkar dan ketika akan ditangkap, Westerling kabur ke Singapura dan Sultan Hamid II berhasil ditangkap. Maka berakhir pemberontakan APRA ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar