Senin, 10 November 2014

Siraso, sang Dewi Bibit Suku Nias

Siraso, sang Dewi Bibit Suku Nias

Cerita Mite dari pulau Nias
Oleh: Victor Zebua

Tari Perang dari Nias, Sumatra Utara
.
Dewi Bibit
Sejauh ini cerita lengkap tentang Siraso ditemukan dalam buku Fondrakö Ono Niha, Agama Purba – Hukum Adat – Mitologi – Hikayat Masyarakat Nias (1981) karya Sökhiaro Welther Mendröfa (Ama Rozaman). 
Dalam bab IV buku tersebut diceritakan tentang Atumbukha Ziraha Wangahalö (Lahirnya Dewa Dewi Pertanian) dalam bentuk narasi dan hoho.
Buruti Siraso (Siraso) adalah putri dari Raja Balugu Silaride Ana’a di Teteholi Ana’a. Balugu Silaride Ana’a adalah keturunan lebih dari sepuluh setelah Balugu Luo Mewöna. Siraso memiliki saudara kembar laki-laki bernama Silögu Mbanua (Silögu).

Di Teteholi Ana’a, Siraso rajin mendatangi rakyat saat penaburan bibit sehingga tanaman subur dan berbuah lebat. Sedang Silögu gemar mendatangi rakyat saat panen sehingga bulir-bulir panenan banyak dan bernas.
Ketika memilih jodoh, Siraso mengidamkan suami yang mirip kembarannya, demikian pula Silögu ingin beristri seorang wanita persis Siraso. Untuk mencari jodohnya, Silögu pergi berkelana. Sementara Siraso diturunkan ayahnya ke muara sungai Oyo. Anak kembar itu dipisah agar tidak terjadi incest (kawin sumbang). Dari muara sungai Oyo, Siraso meneruskan perjalanan ke hulu, tiba di suatu dataran rendah yang kemudian bernama Hiyambanua, dan bermukim di situ.
Setelah setahun berkelana Silögu pulang. Di rantau dia tidak menemukan idamannya, di Teteholi Ana’a dia juga tidak bertemu kembarannya. Menurut ayahnya, Siraso telah meninggal dunia. Betapa gundah-gulana hati Silögu. Akhirnya, Silögu mohon diturunkan ke bumi. Silögu kebetulan diturunkan di muara sungai Oyo. Dia berjalan ke hulu sungai, dan tiba di Hiyambanua. Di sana dia bertemu seorang wanita yang mirip adik kembarnya. Sang wanita itu juga melihat Silögu mirip abang kembarnya.
Dua insan itu akhirnya kawin. Setelah menjadi pasangan suami-istrii barulah Silögu dan wanita itu (yang ternyata adalah Siraso) mengetahui bahwa mereka saudara kembar. Apa boleh buat, Maha Sihai Si Sumber Bayu telah menjodohkan mereka.
Di bumi Nias Siraso dan Silögu tetap gemar mengunjungi para petani. Doa dan berkat mereka dibutuhkan untuk bibit dan untuk panen. Setelah mereka meninggal dunia, orang-orang membuat patung Siraso (Siraha Woriwu) dan patung Silögu (Siraha Wamasi) untuk memanggil arwah mereka pada waktu para petani turun menabur bibit dan panen. Siraso dikenal sebagai Dewi Bibit (Samaehowu Foriwu), Silögu dikenal sebagai Dewa Panen (Samaehowu Famasi).
Pada waktu mulai menabur bibit, masing-masing petani membawa bibit tanaman, diserahkan kepada ere (ulama agama suku) agar bibit tersebut diberkati oleh Dewi Bibit. Upacara pemberkatan ini mengorbankan babi. Ere memimpin doa pemujaan Siraha Woriwu. Syair hoho Memuja Dewi Bibit (Fanumbo Siraha Woriwu) diawali:

He le Siraso samo’ölö, he le Siraso samowua;
soga möi moriwu tanömö, möiga mangayaigö töwua;
mabe’zi sarasara likhe, matanö zi sambuasambua.

(Hai Siraso Sumber hasil, hai Siraso sumber buah.
Kami tiba, menyemai bibit, kami tiba menyemai tampang.
Kami semai tunggal berlidi, kami semai biji satuan.)

Setelah itu syair hoho berisi harapan agar bibit tanaman:
  1. diberi akar menembus bumi, diberi batang naik mengatas
  2. mayangnya dimatangkan oleh terik, buahnya dimatangkan oleh panas
  3. terlindung dari serangan: tikus, walang sangit, celeng, monyet, hama, pipit
  4. tidak diganggu arwah orang mati dan tidak dihanyutkan banjir
Selain harapan, syair hoho juga berisi janji (ikrar) yang harus ditepati:

Mabé wabaliŵa mbalaki, mabé wabaliŵa zemoa;
sumange woriwu tanömö, sumange woriwu töwua.
Andrö faehowu ya mo’ölö, andrö faehowu ya mowua.

(Akan kami bayar emas murni, dan kami membayar emas perada.
Persembahan bagi Dewi Bibit, persembahan bagi Dewi tampang.
Berkatilah agar ganda hasil, berkatilah agar berganda buah.)

Tidak dijelaskan bagaimana janji tersebut dilaksanakan, namun dalam pemujaan Dewa Panen disebutkan bahwa sebagian hasil panen harus dibagikan kepada: kaum miskin atau melarat, janda, anak yatim, dan anak yatim-piatu. Bila dilanggar akan membuat dewa marah dan merusak hasil pertanian.
Demikianlah cerita Dewi Bibit (dan Dewa Panen) dalam buku Ama Rozaman. Kisah Siraso dan Silögu ini pada zamannya merupakan mite. Para ahli menyebutnya mitos teogonis (mite terjadinya dewa-dewi), dianggap benar-benar terjadi, dianggap suci (sakral), dan diwariskan turun-temurun dalam kehidupan masyarakat Nias tempo dulu.

Tradisi lompat batu di Nias

Keturunan Siraso
Mitos teogonis dewa-dewi pertanian kini menjelma menjadi legenda (dianggap benar-benar terjadi, tapi tidak sakral). Ketika agama modern datang, terjadi iconoclasm (pemusnahan patung-patung berhala) di Nias. Masyarakat diharamkan menyembah patung (fanömba adu), sehingga mite dewa-dewi pertanian kehilangan sarana pewarisannya. Dewa-dewi pertanian tidak dianggap sakral lagi oleh orang Nias, kini diganti mitos modern bertema teknologi: traktor, pestisida, pupuk, dan bibit unggul.
Bagi folk (orang Nias zaman sekarang) cerita itu bukan lagi sebuah lore (kebudayaan yang diwariskan). Cerita itu hanyalah sebuah mite kuno (mite milik orang Nias kuno, bukan milik orang Nias kini) yang lambat-laun kian dilupakan. Namun keturunan Siraso yang telah tersebar di Tanö Niha tentu tidak mudah dilupakan.
Generasi ketiga dari Siraso-Silögu adalah anak kembar: Silaheche Walaroi dan Silaheche Walatua. Mereka pindah dari Hiyambanua ke Gomo. Hanya Silaheche Walaroi (Falaroi) yang selamat sampai di Börönadu Gomo. Falaroi menetap di sana bersama keturunan Hia Walangi Adu. Dia mendapat gelar Sebua Moroibalangi. Dari nama gelar itulah asal mado Zebua yang dipakai keturunannya (Fries, 1919: 106-8; Zebua, 1996: 6).

Menurut Faondragö Zebua (Ama Yana), anak Falaroi bernama Lari SumölaIagö Tanömempunyai anak dua: dan BörödanöIagö Tanö berputera Ba’usebua. Ba’usebua kawin denganBuruti Lama, saudari baginda Gea (keturunan Daeli) di Tölamaera, anaknya empat: Lafoyolatio,LanöHinou ManofuManofugabua. Keturunan mereka menyebar: Lafoyolatio tinggal di Ononamölö, Lanö kembali ke Hiyambanua dan sebagian keturunannya pergi ke Laraga, Hinou Manofu dan Manofugabua berdomisili di Luaha Moro’ö mendirikan Ononamölö dan Mazingö. SedangBörödanö menjadi leluhur mado Zebua di Tetehösi Idanögawo (Zebua, 1996: 16-7).
Cerita versi Faogöli Harefa agak berbeda. Cucu Siraso-Silögu yang tinggal di Hiyambanua bernama Lari Sumöla mengembara hingga ke Tölamaera. Di sana dia kawin dengan Buruti Lama, anaknya dua: I’agötanö dan Börönadö. Anak I’agötanö bernama Ba’u Sebua mempunyai anak empat: Lafoyo Latio, Lanö, Manofu Gobua, Hino Manofu. Keturunan mereka menyebar: Lafoyo Latio tinggal di Ononamölö, Lanö pergi ke Oyo, Manofu Gobua pergi ke Luaha Moro’ö, Hino Manofu pergi ke Sowu. Cucu dari Ba’u Sebua menjadi asal-usul mado Zebua (Harefa, 1939: 18).
Dalam kedua cerita tersebut tersimpan sebuah misteri. Suami Buruti Lama menurut Faondragö Zebua (1996) adalah Ba’usebua, sedang Faogöli Harefa (1939) mengatakan Lari Sumöla. Untuk menyingkap misteri tersebut, tampaknya perlu penelusuran yang lebih luas dan teliti terhadap silsilah keluarga (zura nga’ötö) para keturunan Sang Dewi Bibit, meliputi: Zebua, Zega, Zai, Ziliwu, Hawa, dan lainnya.

Patung leluhur dari pulau Nias

Tinjauan pustaka
Banyak cerita tentang Siraso, versinya pun bervariasi. Dari Ama Waögo Waruwu, Ama Zaro Baene, dan Ama Rozaman Mendröfa diketahui Siraso tiba di tiga tempat berbeda di pulau Nias. Fenomena ini menunjukkan bahwa Siraso cukup dikenal masyarakat, terutama masyarakat Nias tempo dulu, di kawasan yang relatif luas di Tanö Niha.
Menurut Ama Waögo Waruwu dari kecamatan Lölöfitu MoiSiraso datang dari seberang, terdampar di teluk Nalawö. Dalam perjalanan ke pedalaman dia beristirahat di hulu sungai Nalawö. Persis di tempat itu akhirnya didirikan desa Nalawö (Hämmerle, 2001: 169).

Sedang menurut Cosmas S. Baene (Ama Zaro) dari desa Hililaora-Hilidohöna, kecamatan Lahusa, Siraso mendarat di muara Susua, kemudian menelusuri sungai Susua ke hulu dan tiba di muara sungai Gomo. Dari muara itu beliau menelusuri sungai Gomo, akhirnya tiba di Börönadu (Hämmerle, 2001: 59).
Lain lagi cerita versi Sökhiaro Welther Mendröfa (Ama Rozaman), puteri Buruti Siraso diturunkan di bumi Tanö Niha, jatuh di muara sungai Oyo di sebelah Barat Tanö Niha. Setelah mengasoh sebentar di tempat itu, puteri Buruti Siraso meneruskan perjalanan ke hulu sungai Oyo dan tiba di suatu dataran rendah yang kemudian bernama Hiyambanua. Bermukimlah puteri itu di sana (Mendröfa, 1981: 162).
Masing-masing cerita di atas masih berupa sepotong cerita. Belum dapat dinilai apakah ketiga cerita tersebut merupakan mite yang dianggap benar-benar terjadi dan dianggap suci, meski beberapa kalangan mungkin mengklaimnya sebagai tradisi lisan (oral tradition) tentang Siraso.
Tradisi lisan merupakan salah satu genre (bentuk) dari folklor. Folklor berasal dari kata-majemuk folklore (Inggris: folk dan lore). Menurut Alan Dundes, folk adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan (misalnya: warna kulit, bentuk rambut, mata pencaharian, bahasa, taraf pendidikan, agama), sehingga dapat dibedakan dari kelompok lainnya. Mereka memiliki suatu tradisi, yakni kebudayaan yang telah diwarisi turun-temurun, sedikitnya dua generasi, yang diakui sebagai milik bersama. Sedang lore adalah sebagian kebudayaan yang diwariskan secara turun-temurun secara lisan atau melalui contoh yang disertai isyarat atau alat pembantu pengingat (Danandjaja, 1984: 1-2).

Mengacu Alan Dundes, dalam mengkaji tradisi lisan mite, Victor Zebua menggunakan batasan unsur-unsur pokok mite Nias, khususnya mite asal-usul, yaitu: cerita lisan berbentuk hoho atau prosa tentang asal-usul, dianggap benar-benar terjadi dan suci oleh sekelompok orang Nias, telah diwariskan minimal dua generasi, pewarisan melalui praktek kebudayaan Nias misalnya: fondrakö, acara kelahiran, pesta perkawinan, acara kematian, pesta budaya, pertunjukan budaya, dan lainnya (Zebua, 2006: 76)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar